Larantuka, IMC- Samar-samar terdengar
suara tabuh diikuti dengan rapalan pada Jumat malam di jalan utama Kabupaten
Larantuka, Flores Timur, NTT. Ucapan-ucapan doa sayup merebak dari ujung Jalan
Basuki Rahmat kota di kaki Gunung Ile Mandiri itu.
Lima orang Confreria
tampak membuka jalan. Sebuah arak-arakan yang diikuti oleh ribuan umat siap
berkeliling kota untuk mengisahkan karya penyelamatan Allah bagi umat Katolik.
Di muka
perarakan, lima pria mengenakan jubah, berlukiskan tangan-tangan octopus atau
gurita besar, membawa lilin dengan tongkat tinggi bak pemegang cahaya pembuka
jalan. Di belakangnya, remaja-remaja Larantuka mengikuti dengan mengusung
panji-panji penuh simbol.
Dari Gereja
Katedral arakan itu dimulai menuju delapan armida atau persinggahan. Persisan,
sebutan proses arak-arakan bagi orang Larantuka, tak hanya diikuti oleh umat
Katolik dari kota di ujung timur pulau Flores ini. Banyak juga peziarah yang
berasal dari luar kota hingga luar negeri berada di tengah-tengah barisan.
Baca juga : Senandung Doa di Tengah Laut Larantuka NTT
Perjalanan
sepanjang kurang lebih tujuh kilometer itu mendatangi delapan tempat singgah
yang masing-masing memiliki makna berbeda. Sambil melantunkan doa untuk sosok
Bunda Maria, Yesus dan Bapak Yoseph, ribuan peziarah itu melintas di kedelapan
armida.
Confreria diikuti oleh biarawati dan peziarah Larantuka
berkeliling jalan utama kota untuk menyinggahi armida-armida. Di sisi
jalan yang dilintasi itu juga sudah tertancap potongan Pohon Kukung yang
dijadikan tempat menaruh lilin penerang jalan. Mereka menamakannya dengan sebutan
Tikam Turo.
Pada
perhentian pertama yakni armida Amu Tuan Missericordia atau yang diterjemahkan
sebagai Maha Rahim. Missericordia melukiskan kerinduan umat manusia menantikan
janji penyelamatan Allah dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus.
Armida Tuan
Meninu (Tuan Bayi Anak), yang menjadi tempat kedua, merepresentasikan pemenuhan
janji-janji Allah kepada umat manusia. Sedangkan di perhentian ketiga, armida
Amu Tuan Mesias Anak Allah, menggambarkan hidup dan karya Yesus.
Baca juga : Kekudusan Malam Jumat Agung di Larantuka, NTT
Di perhentian
keempat, armida Amu Tuan Trewa atau Tuan Terbelenggu, dilukiskan penederitaan
kristus demia keselamatan umat Katolik. Selanjutnya, ada perarakan berhenti di
armida Amu Tuan Yesus Tersalib di Pantai Kebis. Di sini digambarkan Bunda Maria
berduka cita, dan umat Katolik bersatu dalam penderitaan Yesus.
Perhentian keenam merupakan armida Pohon Siri, yang menjadi tempat
perenungan saat Yesus dijatuhi hukuman mati tanpa bersalah. Sedang di armida
ketujuh yakni armida Kuce, digambarkan wafatnya Yesus setelah disalib demi
menebus dosa manusia.
Tak hanya
pria, banyak juga kaum perempuan umat Katolik yang membiarkan tangannya terkena
lelehan lilin di sepanjang perarakan Jumat Agung, Perhentian terakhir perarakan
terdapat di armida Tuan Ana, yang melukiskan diturunkannya Yesus dari salib dan
dimakamkan. Dari sana, perarakan kembali ke Katedral. Lagu seruan seperti O Vos
Omne Qui Transitis, Per Viam Attendite Et Videte, Si Est Dolor Sicut Dolor Meus
menjadi kidungan duka yang terdengar dalam arak-arakan yang berlangsung hingga
pukul 01.30 WITA itu.
Baca juga : Tradisi Cium Tuan di Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana
Kumandang lagu
dan doa kedukaan penuh haru itu menelusup di jalan kota Larantuka. Di
tengah-tengah barisan, beberapa peziarah tampak menyesapi kisah duka yang
diceritakan oleh para Ana Muji Confreria.
Sosok Bunda Maria sebagai
perempuan yang kuat menghadapi duka kematian anaknya bagai direalisasikan oleh
peziarah kaum wanita Larantuka dalam setiap prosesi Jumat Agung. Banyak dari
mereka yang membiarkan kulit tangannya terkena lelehan lilin yang menetes
sepanjang perjalanan prosesi. (Bataona)