Malang, IMC - Setelah melakukan tatap muka
dengan para dosen dan staff di ruang C.11, Sabtu, (18/3/2017) siang, dengan
berpakaian batik berwarna coklat, Wakil Rektor Universitas Tribhuwana
Tunggadewi Malang, Eko Handayanto, ketika diwawancara IMC, mengatakan, maksud dan tujuan dengan diadakannya tatap muka
antara dirinya dengan para dosen dan staff civitas akademika Unitri adalah
untuk memberikan penjelasan (sejarah) mengenai cikal-bakal berdirinya Universitas
Tribuwana Tunggadewi, yang kini berdiri kokoh di jalan Telaga warna.
“Saya menceritakan sejarah berdirinya Unitri kepada semua dosen dan
staff, supaya mereka bisa tahu. Saat ini, Unitri telah memasuki usia ke-30.
Banyak tantangan dan hambatan yang awalnya sungguh dirasakan oleh yayasan
bersama seluruh dosen, staff hingga karyawannya. Waktu yang terus membimbing
kami (para pendiri) hingga saat ini. Memang, sungguh tak mudah menjejakkan kaki
di dunia pendidikan. Harus bisa tahan banting,” cerita Eko, demikian
panggilannya, memulai penjelasannya.
Eko melanjutkan, Unitri didirikan sejak tahun 1987, tepatnya di bulan
Maret, oleh beberapa orang yang begitu peduli terhadap dunia pendidikan. Berkat
keuletan, kegigihan, dan kesabaran, akhirnya cita-cita mendirikan lembaga
pendidikan pun terwujud. Namun, dari kesemuanya itu adalah berkat doa dan
kemurahan Sang Khalik mengabulkan niat luhur mereka.
“Waktu itu, sebanyak 3 kali mengalami peleburan nama. Awalnya, tepatnya
di tahun 1990 bernama Sekolah Tinggi Pertanian. Tahun 1995 berubah nama menjadi
Sekolah Tinggi Ekonomi. Dan kemudian, tahun 2001 barulah menjadi Universitas.
Itu merupakan tahapan untuk mendirikan Universitas. Jadi, untuk mendirikan
Universitas tidaklah semudah yang dibayangkan. Harus melalui tahapan awal yakni
Sekolah Tinggi dulu,” bebernya dengan kerendahan hati.
Ditanya, kapan Unitri memulai ekspansi ke bagian timur Indonesia, untuk
memperkenalkan diri sekaligus merekrut mahasiswa-mahasiswi dikala itu?
Eko yang juga merupakan guru besar dan pengajar di Universitas Brawijaya
Malang, yang masih energik dan murah hati serta berwibawa ini, menjawab
pertanyaan IMC bahwa sejak tahun
1990-an, pihak yayasan bersama beberapa orang mulai mendatangi Nusa Tenggara
Timur, Papua, Ambon-Maluku dan Kalimantan, untuk merekrut mahasiswa-mahasiswi
dari daerah tersebut. Serta melakukan kerjasama (MoU) dengan pemerintah daerah
dari masing-masing wilayah yang dikunjunginya.
“Tahun 1996, masuk ke NTT tepatnya di Larantuka. 1999, di Maumere dan
seluruh wilayah NTT. Termasuk ke Kupang, Atambua, SoE, dan Kefa karena waktu
itu, kan, terjadi pengungsian besar-besaran dari Timor-Timur (kini berdaulat
menjadi negara Timor Leste) ke Timor bagian Barat. Kami melihat itu peluang,
karena tentunya anak-anak sangat membutuhkan pendidikan.”
“Dan kami juga sangat berterima kasih kepada Pemerintah Pusat melalui
Dikti dan pihak-pihak terkait lainnya, yang sejak awal mula hingga saat ini
masih masih terus bersama kami. Kerjasama dengan semua pihak terkait lainnya,
sangat dibutuhkan. Apalagi berbicara tentang pendidikan. Indonesia harus
melahirkan generasi bangsa yang pintar, cerdas, beretika, dan berkhlak mulia,
sehingga dapat dengan mudah bersaing di kancah dunia internasional,” tambah
guru besar ini. (Felix)