Korupsi dalam Perspektif HAM
Oleh Akhmad Bumi
Jakarta, IMC - Sejak Orde Lama,
korupsi sudah terjadi. Tahun 1951-1956 korupsi diwacanakan media lokal seperti
Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Tahun 1961 Mochtar
Lubis dan Rosihan Anwar dijebloskan penjara selain medianya dibredel.
Kolonel
Soeharto dan panglima Diponegoro dituduh korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen
Suprapto, S. parman, M.T. Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat.
Hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti Letkol Pranoto, kepala Stafnya.
Sedang Kolonel Soeharto dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian
mengirim Soeharto ke Seskoad Bandung. Kasus ini membuat D.I. Panjaitan menolak
pencalonan Soeharto menjadi Ketua Senat Seskoad.
Media
Pimpinan Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar dibredel, berawal dari pemberitaan
kasus korupsi Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri) tahun 1956. Intervensi
politik Perdana Menteri Ali Sostroamidjodjo, akhirnya Ruslan Abdulgani gagal
ditangkap polisi militer. Sebelumnya, Lie Hok Thay mengaku memberikan satu
setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak
kartu suara Pemilu. Dalam kasus itu, mantan Menteri Penerangan Kabinet
Burhanuddin Harahap dan direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil
ditangkap.
Jendral
Nasution memimpin tim pemberantasan Korupsi pada era itu, tapi gagal.
Korupsi
sejak Era Orde Lama hingga era Jokowi, seolah menjadi budaya nasional.
KPK
- institusi anti korupsi yang diharap bisa menangkap dan mengungkap “big fish” untuk memperlihatkan
kesungguhan pemberantasan korupsi juga belum maksimal. Skandal E-KTP yang
merugikan negara 2,3 triliun dengan melibatkan nama-nama penting nasional,
terkesan KPK tidak bertaring dalam memprosesnya.
Melanggar HAM
Korupsi
di Indonesia menurut survei PERC berada pada peringkat pertama sebagai negara
terkorup di 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi.
Selama
KPK bekerja, menurut Doni Muhardianysah, Direktur Litbang KPK sudah 155,3
triliun yang diselamatkan dan disetor ke kas negara. Dapat dibayangkan berapa
uang rakyat yang dikorup tapi tidak diselamatkan oleh penegak hukum kita?.
Begitu
besarnya korupsi, maka yang menjadi korban adalah masyarakat luas / publik.
Karena
korbannya masyarakat luas, maka HAM bisa menjadi salah satu pintu masuk atau
menjadi pisau analisis terhadap korupsi.
Ini
yang membedakan antara korupsi dan maling. Kalau maling, bila yang di
curi dikantor, yang hilang mungkin hanya sejumlah uang, atau seperangkat
peralatan kantor. Tetapi bila korupsi terjadi dikantor-kantor, negara bisa
ambruk.
Adanya
korban (publik) dalam korupsi menjadi penghubung antara korupsi dan HAM. Pada
rana strategi, pola pemberantasan korupsi selama ini bersifat elitis,
mempercayakan kepada KPK dan penegak hukum lain. Sementara penegak hukum tak
terkecuali KPK dalam bekerja syarat kepentingan, sungguh ironis jika institusi
hukum dijadikan alat politik.
Tanpa
peran serta masyarakat, pemberantasan korupsi selalu gagal dan tidak maksimal
diberantas. Korupsi itu merampok hak dasar warga. Tapi warga sendiri
tidak menyadari kalau para elit mengkorup hak-hak mereka.
Karena
cenderung elitis atau tidak mengikut sertakan masyarakat dalam gerakan
pemberantasan korupsi, maka sebagian besar koruptor seolah tidak bisa disentuh
hukum.
Pemberantasan
korupsi, dalam kerangka kerja strategi, adalah tugas ahli hukum, peneliti dan
kelompok – kelompok sosial yang mempunyai keterampilan tinggi. Yang trend saat
ini bukan partisipasi atau memobilisasi pemberantasan korupsi, tapi
memobilisasi dukungan politik dan kelompok masyarakat untuk melegitimasi orang-orang
korup.
Karena
itu, walau berbagai peraturan dan UU dibuat, lembaga sejenis KPK dibentuk,
pemberantasan korupsi tidak menunjukkan hasil maksimal.
Karena
orang korup dengan berbagai modus, berlindung dibalik kekuasaan dan system
negara.
Sementara
warga selaku korban telah terkoptasi dengan kelompok-kelompok sesuai
kepentingan.
Memang
tidak mudah menegakkan hukum melawan koruptor. Korupsi selalu melibatkan mereka
yang memiliki kekuasaan. Sementara hukum tidak berada pada ruang hampa. Hukum
diproduk dan dijalankan oleh kekuasaan, hukum hidup dan ditegakkan di
tengah-tengah kompetisi kekuasaan.
Dengan
menggunakan HAM sebagai perspektif dalam melihat dan menganalisis korupsi, kita
dapat menunjukkan yang menjadi korban dalam tindakan korupsi adalah warga masyarakat,
dan menjadi kewajiban masyarakat adalah mengawal dan melakukan perlawanan
dengan menuntut dikembalikan hak-hak mereka yang telah dikorup.
Melalui
analisis HAM, wacana korupsi dapat dibersihkan dari kajian dalam bentuk angka
dan perhitungan teknis serta analisis hukum yang manipulatif.
Melalui
HAM, kita dapat melihat deretan korban korupsi yang terus bertambah tiap tahun,
kemiskinan warga bangsa yang terus meningkat, anak usia produktif tidak sekolah
dan putus sekolah kian besar dari Sabang hingga Merauke.
Pada
giliran, menggunakan instrumen HAM dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk
lebih mengetahui hak-hak mereka yang dirampok, dapat ditunjukkan dengan nyata
bagaimana individu-individu warga menjadi korban pembantaian dari para elit
negara yang korup.
Dengan
menggunakan kaca pandang HAM, strategi pemberantasan dapat diarahkan untuk
meminta pertanggung jawaban negara terhadap sejumlah praktek-praktek haram
dimaksud, dapat pula membangkitkan perlawanan kepada pejabat korup. Melalui
perspektif HAM rakyat dapat menarik dukungan mereka dan membantai elit-elit
politik yang tidak amanah, dan menjadikan mereka sebagai sampah bangsa, karena
telah menodai esensi dasar kedaulatan warga secara luas. (red)
Tags
Opini