Malang, IMC - Banyak
cara untuk membuktikan kecintaan terhadap kaum marginal. Salah satu cara lewat
bersuara. Bersuara tidak sekadar bersuara saja, melainkan bersuara dengan
lantang sembari mengerahkan energi positif yang tentunya membutuhkan
keberanian, komitmen, dan ketulusan hati dalam menggerakkan sesuatu. Juga
bersuara tidak selamanya dengan cara licik. Salah satu cara lewat duduk bersama
untuk memecahkan persoalan yang tengah meliliti anak bangsa, yang saban hari
terlupakan oleh yang empunya kekuasaan.
Keempat
lelaki itu adalah Ato Lose, Obi Bata, Yan Patung, dan Andre. Mereka adalah
Komunitas Anak Negeri Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang, yang
tengah bergeliat, berkomitmen, dan berjuang keras dengan hati tulus-ikhlas
dalam membela hak-dan memperjuangkan hak-hak kaum marginal yang terpinggirkan.
Lantas,
mereka mau apakan sesama anak bangsa yang tengah menderita itu?
Baca Juga : Drainase Perkotaan Perlu Ditata Secara Baik
Baca Juga : Drainase Perkotaan Perlu Ditata Secara Baik
Dengan
berkemeja hitam, keempat lelaki ini yang tengah mengasah ketajaman “pisau”
analisanya, mengatakan, sangat miris negara Indonesia memperlakukan sesama anak
bangsanya. Yang mana, negara sebagai “orang tua tunggal” lupa akan hak-hak dan
kewajibannya dalam memberikan penghidupan yang layak.
“Sangat
tidak tepat, ketika negara membiarkan mereka (anak bangsa) terlunta-lunta di
negerinya sendiri. Bayangkan, di pedalaman Kalimantan, kami Komunitas Anak
Negeri, baru baru ini berkunjung ke sana. Kami melihat dari dekat dan merasakan
apa yang dialami mereka. Pendidikan, kesehatan, akses jalan, dan lain
sebagainya belum mereka nikmati. Padahal bangsa Indonesia telah merdeka
berpuluh tahun yang lalu. Tapi apakah bangsa ini sudah memberikan yang terbaik
untuk mereka?” tanya Ato retoris dengan tensi emosional yang tengah mengubun,
ketika diwawanacara media ini sehabis dialog interaktif di ATV, belum lama ini,
dengan tema “Menjaga NKRI Melalui Peduli Daerah Perbatasan”
Senada
dengan Ato, demikian panggilan akrabnya, Yan Patung memberikan komentar yang
sama. “Aneh saja, masyarakat yang hidup di pedalaman NKRI yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga, terkadang harus menggigit kegetiran
hidup. Wajar-wajar saja, jika mereka lebih diperhatikan negara lain ketimbang
Indonesia. Pemerataan akan hak-hak mereka belum terpenuhi. Masih adakah harapan
esok buat mereka dalam mencecap datangnya mentari?” tanya Yan, lelaki Dayak
dengan bernada penyesalan.
Sementara
itu, secara terpisah Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketika dihubungi media ini lewat
telepon genggamnya, mengatakan, sebagai Wapres dirinya memberikan apresiasi
yang besar terhadap Komunitas Anak Negeri Universitas Tribuwana Tunggadewi
Malang, yang dengan gigih terus memberikan kepedulian bagi bangsa Indonesia.
Terlebih memberikan kepedulian kepada masyarakat yang berada di perbatasan.
“Nah,
untuk mengurus bangsa dan negeri ini, kan tidak selamanya harus pemerintah.
Pihak lain dalam hal ini Komunitas Anak Negeri Universitas Tribhuwana
Tunggadewi, juga bisa memberikan kontribusi,” kata Wapres Kalla.
“Jangan
tanyakan seberapa besar apa yang akan negara berikan kepada kamu. Tapi tanyakan
apa yang akan kamu berikan kepada negara,” tambah Wapres Kalla.(Felix)