Makassar, IMC - Penegakan hukum dan
pemulihan aset kejahatan merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan dalam pemberantasan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi.
Sebagai kejahatan yang didasari kalkulasi atau perhitungan (crime of
calculation), maka pengelolaan dan pengamanan hasil
kejahatan merupakan kebutuhan mendasar bagi pelaku kejahatan kerah putih.
Seseorang akan berani melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi
akan lebih tinggi dari resiko hukuman (penalty) yang dihadapi,
bahkan tidak sedikit pelaku korupsi yang siap untuk masuk penjara apabila ia
memperkirakan bahwa selama menjalani masa hukuman, keluarganya masih akan dapat
tetap hidup makmur dari hasil korupsi yang dilakukan.
Hal itu di sampaikan oleh Kepala Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan Dr.Jan.S.Maringka saat Keynote Speech dalam Focus Group
Discussion tentang RUU Perampasan Aset yang diselenggarakan atas kerja sama
Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung RI dengan Pusat Kajian
Kejaksaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin-Makassar,Sul-Sel,Jumat (
17/3/17 ) Turut hadir sejumlah Akademik dan Civitas Universitas Hassanudin
serta sejumlah pejabat Pemerintahan Provinsi dan Kota Makassar.
Oleh karena itu tambah mantan Jaksa Atase di
Hongkong, maka pemberantasan kejahatan kerah putih tidak hanya cukup dengan
menghukum para pelakunya, namun harus diimbangi dengan upaya untuk memotong
aliran hasil kejahatan. Dengan merampas harta benda yang dihasilkan dari
kejahatan, maka diharapkan pelaku akan hilang motivasinya untuk melakukan atau
meneruskan perbuatannya, karena tujuan untuk menikmati hasil-hasil kejahatannya
akan terhalangi atau menjadi sia-sia.
“Selain dari efek deteren, penelusuran hasil
kejahatan menjadi penting guna memulihkan kerugian yang ditimbulkan dengan cara
menarik kembali aset yang dicuri dan mengembalikannya kepada yang berhak, yaitu
negara dan masyarakat. Aspek restorative ini merupakan unsur penting yang tidak
dapat dilupakan mengingat kerugian akibat tindak pidana kerah putih telah
mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. World Bank memperkirakan jumlah
uang yang dicuri dari negara-negara berkembang mencapai 20 Miliar sampai dengan
40 Miliar Dollar Amerika Serikat per tahunnya, atau hampir setara dengan 20
sampai 40 persen jumlah bantuan yang dialirkan ke negara-negara berkembang,”
katanya
Dilain sisi sambungnya, melacak aset hasil
kejahatan merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum. Pelaku kejahatan akan
berusaha dengan berbagai macam cara untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta
kekayaan yang diperolehnya dari hasil korupsi agar tidak terendus oleh penegak
hukum. Perkembangan teknologi dan semakin pudarnya batasan negara semakin
menambah suburnya berbagai modus baru yang dikembangkan dengan tujuan
menyulitkan pelacakan asal-usul aset hasil kejahatan. Bahkan setelah
hasil kejahatan masuk dalam lalu lintas sistem finansial, akan dengan mudah
bagi pelaku untuk memindahkan dana dengan menggunakan berbagai modus transaksi
untuk menghilangkan jejak kejahatannya.
“Paradigma dalam memerangi kejahatan saat ini
memang telah mengalami pergeseran, yaitu dari upaya menghukum para pelakunya
menjadi bagaimana cara memulihkan aset negara yang hilang dari perbuatan
tersebut. Di samping itu, yang lebih penting lagi, adalah munculnya kesadaran
dunia bahwa penanganan kejahatan bukan lagi merupakan masalah intern suatu
negara, tetapi memerlukan upaya global. Kesadaran akan perlunya kerjasama
internasional tersebut mencapai puncaknya dengan disahkannya United
Nations Convention on Transnational Organized Crimes (UNTOC) Tahun
2000 yang merupakan the first legally binding agreement atau
konvensi yang berlaku secara global, yang dirancang untuk mencegah dan
memerangi kejahatan lintas negaara terorganisasi secara komprehensif di
berbagai belahan dunia,” pungkasnya
Salah satu gagasan utama yang dimunculkan
UNTOC adalah menjadikan pemulihan aset sejajar dengan pilar penting lainnya
dalam pemberantasan kejahatan seperti juga upaya pencegahan, penegakan hukum
dan kerjasama internasional. Konvensi tersebut menyatakan tekad untuk mencegah,
melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer
internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah dan untuk
memperkuat kerjasama internasional dalam pemulihan aset.
“Pentingnya kerjasama internasonal dalam upaya
pelacakan aset hasil tindak pidana bukanlah tanpa alasan. Menurut analisa World
Bank, aliran aset hasil kejahatan, korupsi dan pengelakan pajak secara lintas
negara, diperkirakan mencapai 1 Trilyun sampai dengan 1,6 Trilyun Dollar Amerika
Serikat per tahun. Kondisi ini menunjukan bahwa teknik menyimpan harta ke luar
negeri merupakan trend yang lazim digunakan oleh pelaku korupsi dan kejahatan
kerah putih untuk menyembunyikan jejak perbuatannya. Perbedaan sistem hukum,
keterbatasan kewenangan dan political will dari pemerintah
tempat aset tersebut disimpan merupakan beberapa kelemahan yang sering
dimanfaatkan oleh para koruptor untuk mengamankan hasil kejahatan dari jerat
hukum,” ujar mantan Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan
RI
Oleh karena itulah, maka kerjasama penegakan
hukum lintas negara merupakan faktor kunci yang dibutuhkan untuk suksesnya
pemulihan aset curian yang telah ditransfer atau disembunyikan di luar negeri.
Selain untuk memperoleh keterangan dan bukti, pembekuan dan penyitaan aset,
maka kerjasama juga sangat diperlukan guna menjamin bahwa aset yang telah
dibekukan pada akhirnya dapat benar-benar dikembalikan ke negara pemohon. Bab V
UNCAC memberikan kerangka dasar bagi upaya pemulihan aset melalui bentuk
kerjasama lintas negara baik dalam tindakan pembekuan, penyitaan, perampasan
dan pengembalian aset kepada negara yang berhak. Untuk dapat mewujudkan
kerjasama tersebut, beberapa langkah penting yang perlu diambil yaitu:
1. Memberikan bantuan terkait dengan perintah
pembekuan atau penyitaan aset hasil kejahatan yang dikeluarkan oleh pengadilan
negara lain.
2. Membuka kemungkinan dilakukannya gugatan in
rem (terhadap aset) khususnya dalam hal pelaku kejahatan meninggal
dunia, melarikan diri, tidak diketahui keberadaannya, atau berbagai
kondisi lainnya
3. Memberikan kewenangan kepada pengadilan
untuk dapat menghukum pelaku korupsi membayar kompensasi atau ganti rugi kepada
negara lain yang dirugikan
4. Memungkinkan pengadilan mempertimbangkan
klaim yang diajukan oleh negara lain selaku pihak ketiga atas kepemilikan aset
yang dihasilkan dari korupsi.
5. Memberikan informasi yang diperlukan dalam
upaya pemulihan aset oleh negara lain;
6. Mengembangkan Kerjasama internasional
terkait mekanisme pengembalian aset.
Selanjutnya, pada tahun 2007 Bank Dunia dan United
Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) telah meluncurkan program
yang disebut “The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”. Program
ini merupakan respon internasional untuk mempromosikan implementasi UNCAC,
sehingga diharapkan dapat tercapai kesatuan langkah antara negara-negara
khususnya dalam kerjasama di bidang pemulihan aset hasil kejahatan. Program
StAR tersebut sendiri dibangun di atas empat pilar utama yaitu:
1. Pemberdayaan perangkat hukum dan
kelembagaan di bidang pemulihan aset hasil kejahatan.
2. Kerjasama antar pemerintah, pembentuk
undang-undang, lembaga keuangan, dan masyarakat untuk menumbuhkan tanggung
jawab kolektif dan kesatuan aksi dalam pencegahan, deteksi dan pemulihan aset
hasil curian.
3. Mengembangkan inovasi akan teknik-teknik
yang dapat digunakan untuk menelusuri dan mengembalikan aset kejahatan.
4. Mendorong penguatan standar internasional
dalam upaya pemulihan aset melalui implementasi dari ketentuan Bab V UNCAC dan
konvensi internasional lainnya.
Kejaksaan menyadari
bahwa optimalisasi penanganan perkara tindak pidana korupsi yang gencar
dilakukan, harus diimbangi dengan kemampuan untuk menyelamatkan dan memulihkan
aset negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi tersebut. Hal tersebut
perlu dilakukan untuk memberikan pesan kuat bahwa tidak ada tempat yang aman
bagi pelaku kejahatan untuk dapat menikmati hasil perbuatannya.
Sejalan dengan UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Kejaksaan memiliki peran strategis di bidang perampasan dan pemulihan
aset. Dalam konteks tersebut, maka Kejaksaan bertindak sebagai pelaksana
putusan pengadilan dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi[1] dan perampasan barang bergerak
yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.[2] Undang-Undang juga
memberikan kewenangan bagi negara untuk merampas harta benda terdakwa, dalam
hal ia tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan
karena tindak pidana korupsi.
Sementara itu, dalam kapasitasnya sebagai
Pengacara Negara, Kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk melakukan upaya
pemulihan aset melalui jalur perdata, yaitu dalam hal :
1. Penyidik menemukan dan berpendapat bahwa
satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.[3]
2. Terdakwa diputus bebas dalam perkara tindak
pidana korupsi, namun terdapat kuat indikasi telah ada kerugian terhadap
keuangan negara.[4]
3. Tersangka meninggal dunia pada saat
dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara.[5]
4. Terdakwa meninggal dunia pada saat
dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara.[6]
Untuk
lebih mendukung kinerja kejaksaan dalam upaya pemulihan aset hasil kejahatan, Kejaksaan juga telah membentuk Pusat
Pemulihan Aset (PPA) berdasarkan peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
nomor: PER-006/A/JA/3/2014.
Keberadaan PPA
diharapkan dapat menambah efektifitas kegiatan pemulihan aset, serta koordinasi
dengan jaringan kerjasama nasional maupun internasional dalam konteks
penelusuran aset hasil kejahatan. Pembentukan PPA sendiri pada dasarnya
diinspirasi dari model BOOM (Beureu Ontnemingswetgeving Openbaar
Ministerie) atau Biro Perampasan Aset Hasil Kejahatan yang berada di
bawah Kejaksaan Agung Kerajaan Belanda yang dinilai relatif sukses dalam
menjalankan tugas perampasan aset hasil kejahatan.
Langkah tersebut
menunjukkan sikap Kejaksaan yang terus berbenah diri untuk dapat tampil sebagai
penegak hukum yang modern, tidak hanya memiliki kemampuan dalam mengejar dan
menindak para pelaku kejahatan, namun dapat pula tampil di garis depan dalam
upaya menarik kembali hasil korupsi sehingga dapat digunakan sepenuhnya untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam rangka menyesuaikan peraturan perundang-undangannya
sesuai dengan standar yang diatur dalam konvensi internasional, Indonesia terus
melakukan pembenahan perangkat hukum yang diperlukan untuk dapat menerapkan
strategis yang efektif di bidang pemulihan aset, yang antara lain diwujudkan
dengan RUU Perampasan Aset yng saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah.
Gagasan utama dari RUU Perampasan Aset
tersebut yaitu sebagaimana diatur dalam UNCAC, upaya pemulihan aset dapat
dilakukan dengan menggunakan instrumen instrumen keperdataan (Non-Conviction
Based Forfeiture), selain yang bersifat pidana (Criminal
Forfeiture). Perampasan aset melalui jalur pidana merupakan proses yang
bersifat in personam, yang ditujukan terhadap pelaku kejahatan.
Proses ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sanksi pidana dalam
perkara pokok, sehingga bersandar pada aspek kesalahan terdakwa.
Perampasan melalui jalur keperdataan bersifat in
rem, yaitu ditujukan langsung terhadap aset. Non-Conviction Based
Forfeiture merupakan alternatif yang dapat ditempuh negara dan penegak
hukum untuk tetap dapat menarik aset, dalam hal penuntutan pidana terhadap
pelaku menjadi tidak efektif, baik karena tidak ditemukannya cukup bukti maupun
pelaku melarikan diri atau meninggal dunia.
Walaupun sebagaimana
dijelaskan di atas, dunia interasional terus berbenah diri dalam upaya
menjadikan rezim pemulihan dan perampasan aset tindak pidana sebagai instrumen
terdepan di bidang pemberantasan kejahatan saat ini, namun sangat disayangan
bahwa di level nasional sendiri, perangkat hukum terkait pemulihan dan
perampasan aset masih memerlukan banyak pembenahan. Hal ini antara lain
terbukti dari belum jelasnya definisi dan batasan tentang aset itu sendiri,
sehingga dalam pelaksanaannya terus menimbulkan perdebatan mengenai siapakah
yang memiliki kewenangan untuk mengelola aset yang dipulihkan dari hasil tindak
pidana.
Sebagian pihak
berpendapat bahwa mengingat aset merupakan kekayaan negara, maka pihak yang
seharusnya diberikan kewenangan untuk mengelola aset sejak dari tahap awal
penanganan adalah Kementerian Keuangan cq Ditjen Kekayaan Negara. Namun
demikian ada pula yang berpendapat, mengingat aset yang menjadi barang sitaan
tersebut disimpan di Rubasan, maka seharusnya Rubasan diberikan kewenangan
untuk mengelola aset yang disimpannya. Di lain sisi, Kejaksaan meyakini bahwa
sampai dengan kedudukannya bersifat clean and clear (diserahkan
oleh Jaksa selaku Pelaksana Putusan Pengadilan kepada yang berhak), maka aset
harusnya dianggap sebagai obyek sengketa yang pengelolaannya harus melekat pada
Pejabat yang menangani perkara tersebut.
Adapun beberapa
landasan yang mendukung wacana untuk dipercayakannya pengelolaan aset kepada
Kejaksaan, yaitu:
a. Pengelolaan aset tindak pidana sebagaimana
diatur dalam RUU Perampasan Aset merupakan satu mata rantai tidak terpisahkan
sejak dari tahap penelusuran (Pasal 7), pemblokiran dan penyitaan (Pasal 10 s/d
Pasal 18), pemberkasan (Pasal 19 s/d Pasal 20), pengajuan permohonan perampasan
aset oleh Jaksa Pengacara Negara (Pasal 21 s/d Pasal 29), persidangan (Pasal 31
s/d Pasal 44) sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap oleh Jaksa Pengacara Negara (Pasal 45).
b. Berdasarkan mekanisme penanganan perkara
maka jelas bahwa Kejaksaan melalui fungsi Jaksa Penyidik dan Jaksa Pengacara
Negara merupakan lembaga yang terlibat dalam penanganan perkara perampasan aset
sejak tahap awal sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. Dalam kedudukan tersebut sudah tepat apabila tanggung jawab
yuridis atas pengelolaan aset terkait tindak pidana berada
pada Kejaksaan.
c. Dalam konteks pengelolaan barang
milik negara maka Kementerian Keuangan cq Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara yang fungsinya tidak terkait dengan penegakan hukum (due process
of law), dirasakan lebih tepat untuk mengelola barang milik negara yang
sudah bersifat “clean and clear” yaitu setelah aset tersebut
diserahkan oleh Jaksa Pengacara Negara kepada negara sebagai tindak lanjut
pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan tidak lagi
berada dalam sengketa dan/atau terkait tindak pidana/perkara lainnya.
d. Mekanisme pemulihan aset oleh
Kejaksaan, pada dasarnya dilakukan oleh satuan kerja teknis mulai dari tingkat
pusat (Kejaksaan Agung) sampai tingkat daerah (Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan
Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri,) yang terkoneksi satu dengan lainnya yang
dikoordinasikan oleh Pusat Pemulihan Aset.
e. Pusat Pemulihan Aset
dibangun untuk memberikan paradigma baru yaitu membangun Sistem Pemulihan Aset
Terintegrasi (Integrated Asset Recovery System) pada penegakan hukum
Indonesia karena setiap tindakannya dilakukan secara:
·
Terstruktur, setiap
pemulihan aset pada PPA selalu melalui tahapan sebagai berikut: penelusuran,
pengamanan, perampasan, pemeliharaan dan repatriasi;
·
Efisien, karena
optimalisasi pemulihan aset yang terkait dan menjadi hasil dari kejahatan
merupakan tupoksi dari Kejaksaan R.I sehingga tidak perlu membentuk “LEMBAGA”
atau “LEGISLASI” baru terkait perampasan aset, yang tentu harus disertai
penambahan beban biaya Negara;
·
Efektif, mengingat Pusat
Pemulihan Aset dibawah struktur Kejaksaan R.I tidak bekerja sendiri melainkan
dilengkapi denganLIAISON OFFICER dari berbagai agensi serta
institusi yang memiliki kewenangan, kepentingan dan keterkaitan dengan tupoksi
PPA Kejaksaan R.I;
·
Menjunjung tinggi akuntabilitas karena
kendali administrative barang rampasan yang menjadi tupoksi
Kementrian Keuangan sebagai Pengelola Barang Milik Negara terkoneksi secara
digital dengan PPA khususnya dalam sistem pelaporan menggunakanotomatisasi
digital secured data system yang dibangun melalui kerjasama antara
Kejaksaan R.I dengan Lembaga Sandi Negara, selain itu PPA juga dilengkapi
dengan sarana pelayanan informasi yang memudahkan masyarakat dan berbagai pihak
mendapatkan informasi terkait data dan kontrol manajemen atas aset yang
telah dilakukan pengamanan/ perampasan/repatriasi.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka jelaskan bahwa dalam mekanisme yang hendak
dibangun dalam RUU Perampasan Aset dengan pendekatan in rem,
Kejaksaan juga menjalankan 3 (tiga) fungsi antara lain penyidikan, pengajuan
permohonan perampasan aset oleh Jaksa Pengacara Negara hingga pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang di dalamnya juga
meliputi kewenangan untuk melakukan penyitaan aset yang secara yuridis melekat
tanggung jawab untuk melakukan pengelolaan atas aset tersebut. Jadi
jelas disini tindakan terhadap aset hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak
hukum karena tindakan ini adalah tindakan Pro-justisia. Dalam konteks
penegakan hukum, di mana dalam konteks tersbut Kejaksaan berperan sebagai “Center
of Integrated Criminal Justice System” di Indonesia memiliki wewenang
Pro-justisia (untuk keadilan) bergerak di tiga tataran yaitu penyidikan
(tindak pidana tertentu), penuntutan dan eksekusi (wewenang
eksekutorial).
Selanjutnya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor : 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Rampasan
Negara dan Barang Gratifikasi, mengakui dan menegaskan fungsi manajemen aset
pro-justisia Kejaksaan. Jaksa Agung melakukan pengurusan atas barang
rampasan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun kewenangan Menteri Keuangan terkait barang rampasan tersebut terbatas
pada memberikan keputusan atas usul pemanfaatan, pemindahtanganan dan
penghapusan barang rampasan yang diajukan oleh Kejaksaan yaitu terhadap barang
rampasan yang tidak laku dijual lelang (Pasal 8, Pasal 9 jo Pasal 15 ayat (3)
Permenkeu Nomor : 03/ PMK.06/ 2011). Dengan pertimbangan di atas, pengelolaan
atas benda sitaan maupun barang rampasan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
yuridis Kejaksaan.
Sementara itu, Sesuai
dengan Pasal 44 KUHAP, fungsi Rupbasan adalah sebagai tempat
penyimpanan benda sitaan, yang di dalamnya melekat tanggung jawab
secara fisik dan administrasi atas benda sitaan tersebut. Dengan tugas dan
fungsi tersebut sangat kontra produktif dengan beberapa tugas pengelolaan aset
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (2) RUU Perampasan aset, antara
lain penilaian aset tindak pidana yang pada prinsipnya merupakan kewenangan
dari Menteri Keuangan, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan dan
pengembalian merupakan lingkup tanggung jawab yuridis pejabat sesuai dengan
tingkat pemeriksaan (Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Jaksa).(Muzer)